Jika kita mendengar kata “harga naik”, pasti Masyarakat akan langsung
uring-uringan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, terlebih pada
Masyarakat golongan menengah ke bawah. “kalau sudah naik, gak mungkin bisa turun
lagi” sepenggal kata-kata yang saya dengar dari kerabat saya, yang artinnya
kurang lebih adalah jika harga sudah naik, maka sudah dipastikan akan susah
menurunkannya lagi atau mungkin tidak bisa sama sekali. Namun, yang akan saya
jadikan tema disini bukanlah mengenai harga barang maupun kebutuhan Masyarakat,
melainkan kenaikan harga BBM. Tema kenaikan harga BBM ini sudah lama menjadi
wacana hangat, karena direncanakan akan mulai dinaikan mulai periode 1 April
lalu. Namun, berdasarkan hasil pemungutan suara Rapat Paripurna DPR RI tentang
RUU APBN Perubahan 2012, pada akhirnya menunda kenaikan harga BBM pada 1 April
2012. Dengan
keputusan tersebut, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak jadi naik.
Namun, DPR tetap membuka kemungkinan bagi pemerintah melakukan penyesuaian jika
harga rata-rata minyak mentah Indonesia naik atau turun lebih 15 persen dalam
waktu enam bulan. Tentu saja hal tersebut masih akan
dijadikan bahan perdebatan sampai terdapat keputusan yang benar-benar final. Pastinya,
masih akan menjadi issue yang menjadi
bahan sehari-hari.
Di berbagai kalangan akan mengeluarkan opini mereka masing-masing
mengenai issue kenaikan harga BBM
ini. Berbagai
sudut pandang pun lahir dari kalangan elite termasuk berbagai pakar bidang
sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, perihal setuju tidaknya dengan
kenaikan harga BBM. Apa yang sebenarnya menyebabkan kenaikan harga BBM
bersubsidi ini ? sebenarnya karena dipicu oleh naiknya harga minyak dunia. Kenaikan
harga ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat semakin menipisnya
persediaan minyak dunia dan konflik yang terjadi di negara-negara timur tengah,
yang notabene adalah kontributor besar minyak dunia. Kenaikan bahan bakar
minyak merupakan jawaban pemerintah dari semakin membengkaknya anggaran negara
terhadap subsidi BBM.Hal ini terjadi akibat melonjaknya harga minyak dunia
serta penggunaan BBM yang melebihi kuota.Asumsi negara untuk harga minyak dunia
per barel adalah 95US$sedangkan sekarang harga ini telah menyentuh angka 120
US$. Kenaikan harga BBM tidak dapat dipungkiri akan menguras banyak tenaga dan
pikiran untuk mencari cara terbaik dalam penyelesainnya. Opsi terakhir yang
dikeluarkan pemerintah adalah menaikkan harga BBM pada tariff Rp 6.000,00 per
liter. Jika hal ini tidak dilakukan maka anggaran APBN yang harus dialokasikan
untuk subsidi pada batas tariff Rp 4.500,00 per liter adalah sebesar Rp 178,62
trilliun. Pada kenaikan harga per liter sebesar Rp 1.500,00 akan menekan
subsidi sebesar Rp 41,25 trilliun. (dengan perhitungan harga miinyak mentah
dunia US$ 105 per barel, kurs Rp 9.000 per dolar AS, dan kota BBM 40 juta
kiloliter). Jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan dan pertumbuhan
ekonomi yang terus berlangsung, tak bisa dipungkiri akan berdampak kepada peningkatan
kebutuhan energi di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI,
tahun 1970, konsumsi energi primer hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel
Minyak). Tiga puluh satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001 konsumsi energi
primer telah mencapai 715 juta SBM atau mengalami pertumbuhan yang luar biasa
yaitu sebesar 1330% atau pertumbuhan rata-rata periode 1970-2001 sebesar
42.9%/tahun.Selain itu, menurut proyeksi permintaan energi oleh BPTE-BPPT Puspiptek
Indonesia, pada tahun 2025 permintaan energi dari sektor transportasi juga akan
terus meningkat bahkan hingga mencapai 350%. Berdasarkan data IEO (Indonesia Energy Outlook) yang
dikeluarkan oleh Kementerian energi dan sumber daya mineral tahun 2009, konsumsi
energi final (tanpa biomasa untuk rumah tangga) dalam kondisi permintaan
energi, regulasi, serta tanpa adanya intervensi pemerintah diperkirakan tumbuh
rata-rata 6,7% per tahun, dengan konsumen terbesar sektorindustri (51,3%),
diikuti oleh sektor transportasi (30,3%), sektor rumah tangga(10,7%), sektor
komersial (4,6%), dan sektor PKP (3,1%). Adapun pangsapermintaan energi final
menurut jenis terdiri dari BBM (33,8%), gas (23,9%), listrik(20,7%), batubara
(14,9%), LPG (2,6%), BBN (2,9%), dan biomasa komersial(1,1%). Konsumsi energi
ini tentu akan berdampak kepada emisi CO2 yang dihasilkan. Berdasarkan
prakiraan pertumbuhan konsumsi energi di atas, emisi CO2 dari pembakaran energi
sekitar 460 juta ton pada tahun 2010akan terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 2.160 juta ton pada tahun 2030. Hal ini akan sangat memprihatinkan,
jika terus dibiarkan dapat kita bayangkan betapa banyak dampak negatif yang
akan timbul akibat peningkatan emisi CO2 yang terus terjadi ini. Dalam kondisi
krisis energi yang terus melanda serta emisi CO2 yang terus meningkat, tentu
keadaan ini akan sangat mengkhawatirkan. Pemerintah sebagai regulator dan
pengendali kebijakan perlu memahami pola konsumsi energi yang tengah terjadi. Selain
itu, masyarakat sebagai konsumen sudah semestinya turut berperan serta dalam
upaya penghematan dan diversifikasi pemakaian energi serta pengurangan emisi
CO2.
Saya, sebagai orang yang menyikapi mengenai kenaikan harga BBM ini dari
sudut pandang orang awam, hanya bisa mengatakan jika seharusnya keputusan ini
diambil secara bijak oleh Pemerintah. Memang semua keputusan yang diambil
Pemerintah adalah satu-satunya hal untuk menyelamatkan anggaran Negara, dan
Pemerintah pernah mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk meringankan beban calon
pengganti periode Pemerintahan sekarang untuk Pemerintahan masa yang akan datang.
Kebijakan Pemerintah ini harus dilakukan tanpa adanya unsur kepentingan dari
pihak manapun. Bagaimanapun jika alasan kebijakan Pemerintah ini
mengatasnamakan Rakyat, tetapi apabila Rakyat tidak menerimanya maka tidak
harus dipaksakan, karena Masyarakat juga yang akan merasakan dampaknya secara
langsung. Dan saya juga memiliki saran. Jika memang harus dinaikkan harga BBM
ini, hendaknya dapat dinaikkan secara bertahap, tidak langsung menaikkan dengan
signifikan, agar Masyarakat tidak mengalami suatu “kejutan” jika langsung
dinaikkan. Ada kalanya juga Masyarakat lah (hanya pada golongan tertentu) yang
juga harus sadar diri. Misalnya, sekarang sudah ada kebijakan, yaitu jika
mobil-mobil mewah (biasa dipakai Masyarakat kelas menengah keatas) yang
berkapasitas diatas 1500 cc tidak boleh mengisi dengan BBM bersubsidi.
Kebijakan ini membuat saya sedikit menerima, karena memang BBM bersubsidi itu
dikhususkan untuk Masyarakat kelas menengah kebawah, dan alangkah tidak
bijaknya jika Masyarakat kelas menengah keatas juga ingin memakai apa yang
sudah menjadi hak untu golongan lain. Beberapa Masyarakat kelas menengah keatas
tersebut membeli BBM bersubsidi dengan alasan harga yang lebih murah
dibandingkan yang lain (pertamax, solar, dll), padahal dengan alasan seperti
tentunya tidak akan membantu dan keputusan yang tidak bijak. Akhir kata, agar
kebijakan kenaikan BBM yang sedang ditunda ini dapat menemukan titik terang dan
tidak ada golongan Masyarakat maupun pihak Pemerintah yang dirugikan bila
memang harus benar-benar naik (dengan melihat kondisi harga minyak dunia).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar