Pages

Selasa, 05 Juni 2012

Menyikapi Kenaikan BBM


     Jika kita mendengar kata “harga naik”, pasti Masyarakat akan langsung uring-uringan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, terlebih pada Masyarakat golongan menengah ke bawah.  “kalau sudah naik, gak mungkin bisa turun lagi” sepenggal kata-kata yang saya dengar dari kerabat saya, yang artinnya kurang lebih adalah jika harga sudah naik, maka sudah dipastikan akan susah menurunkannya lagi atau mungkin tidak bisa sama sekali. Namun, yang akan saya jadikan tema disini bukanlah mengenai harga barang maupun kebutuhan Masyarakat, melainkan kenaikan harga BBM. Tema kenaikan harga BBM ini sudah lama menjadi wacana hangat, karena direncanakan akan mulai dinaikan mulai periode 1 April lalu. Namun, berdasarkan hasil pemungutan suara Rapat Paripurna DPR RI tentang RUU APBN Perubahan 2012, pada akhirnya menunda kenaikan harga BBM pada 1 April 2012. Dengan keputusan tersebut, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak jadi naik. Namun, DPR tetap membuka kemungkinan bagi pemerintah melakukan penyesuaian jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia naik atau turun lebih 15 persen dalam waktu enam bulan. Tentu saja hal tersebut masih akan dijadikan bahan perdebatan sampai terdapat keputusan yang benar-benar final. Pastinya, masih akan menjadi issue yang menjadi bahan sehari-hari.


     Di berbagai kalangan akan mengeluarkan opini mereka masing-masing mengenai issue kenaikan harga BBM ini. Berbagai sudut pandang pun lahir dari kalangan elite termasuk berbagai pakar bidang sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, perihal setuju tidaknya dengan kenaikan harga BBM. Apa yang sebenarnya menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi ini ? sebenarnya karena dipicu oleh naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat semakin menipisnya persediaan minyak dunia dan konflik yang terjadi di negara-negara timur tengah, yang notabene adalah kontributor besar minyak dunia. Kenaikan bahan bakar minyak merupakan jawaban pemerintah dari semakin membengkaknya anggaran negara terhadap subsidi BBM.Hal ini terjadi akibat melonjaknya harga minyak dunia serta penggunaan BBM yang melebihi kuota.Asumsi negara untuk harga minyak dunia per barel adalah 95US$sedangkan sekarang harga ini telah menyentuh angka 120 US$. Kenaikan harga BBM tidak dapat dipungkiri akan menguras banyak tenaga dan pikiran untuk mencari cara terbaik dalam penyelesainnya. Opsi terakhir yang dikeluarkan pemerintah adalah menaikkan harga BBM pada tariff Rp 6.000,00 per liter. Jika hal ini tidak dilakukan maka anggaran APBN yang harus dialokasikan untuk subsidi pada batas tariff Rp 4.500,00 per liter adalah sebesar Rp 178,62 trilliun. Pada kenaikan harga per liter sebesar Rp 1.500,00 akan menekan subsidi sebesar Rp 41,25 trilliun. (dengan perhitungan harga miinyak mentah dunia US$ 105 per barel, kurs Rp 9.000 per dolar AS, dan kota BBM 40 juta kiloliter). Jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung, tak bisa dipungkiri akan berdampak kepada peningkatan kebutuhan energi di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI, tahun 1970, konsumsi energi primer hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak). Tiga puluh satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001 konsumsi energi primer telah mencapai 715 juta SBM atau mengalami pertumbuhan yang luar biasa yaitu sebesar 1330% atau pertumbuhan rata-rata periode 1970-2001 sebesar 42.9%/tahun.Selain itu, menurut proyeksi permintaan energi oleh BPTE-BPPT Puspiptek Indonesia, pada tahun 2025 permintaan energi dari sektor transportasi juga akan terus meningkat bahkan hingga mencapai 350%. Berdasarkan data IEO (Indonesia Energy Outlook) yang dikeluarkan oleh Kementerian energi dan sumber daya mineral tahun 2009, konsumsi energi final (tanpa biomasa untuk rumah tangga) dalam kondisi permintaan energi, regulasi, serta tanpa adanya intervensi pemerintah diperkirakan tumbuh rata-rata 6,7% per tahun, dengan konsumen terbesar sektorindustri (51,3%), diikuti oleh sektor transportasi (30,3%), sektor rumah tangga(10,7%), sektor komersial (4,6%), dan sektor PKP (3,1%). Adapun pangsapermintaan energi final menurut jenis terdiri dari BBM (33,8%), gas (23,9%), listrik(20,7%), batubara (14,9%), LPG (2,6%), BBN (2,9%), dan biomasa komersial(1,1%). Konsumsi energi ini tentu akan berdampak kepada emisi CO2 yang dihasilkan. Berdasarkan prakiraan pertumbuhan konsumsi energi di atas, emisi CO2 dari pembakaran energi sekitar 460 juta ton pada tahun 2010akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2.160 juta ton pada tahun 2030. Hal ini akan sangat memprihatinkan, jika terus dibiarkan dapat kita bayangkan betapa banyak dampak negatif yang akan timbul akibat peningkatan emisi CO2 yang terus terjadi ini. Dalam kondisi krisis energi yang terus melanda serta emisi CO2 yang terus meningkat, tentu keadaan ini akan sangat mengkhawatirkan. Pemerintah sebagai regulator dan pengendali kebijakan perlu memahami pola konsumsi energi yang tengah terjadi. Selain itu, masyarakat sebagai konsumen sudah semestinya turut berperan serta dalam upaya penghematan dan diversifikasi pemakaian energi serta pengurangan emisi CO2.

     Saya, sebagai orang yang menyikapi mengenai kenaikan harga BBM ini dari sudut pandang orang awam, hanya bisa mengatakan jika seharusnya keputusan ini diambil secara bijak oleh Pemerintah. Memang semua keputusan yang diambil Pemerintah adalah satu-satunya hal untuk menyelamatkan anggaran Negara, dan Pemerintah pernah mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk meringankan beban calon pengganti periode Pemerintahan sekarang untuk Pemerintahan masa yang akan datang. Kebijakan Pemerintah ini harus dilakukan tanpa adanya unsur kepentingan dari pihak manapun. Bagaimanapun jika alasan kebijakan Pemerintah ini mengatasnamakan Rakyat, tetapi apabila Rakyat tidak menerimanya maka tidak harus dipaksakan, karena Masyarakat juga yang akan merasakan dampaknya secara langsung. Dan saya juga memiliki saran. Jika memang harus dinaikkan harga BBM ini, hendaknya dapat dinaikkan secara bertahap, tidak langsung menaikkan dengan signifikan, agar Masyarakat tidak mengalami suatu “kejutan” jika langsung dinaikkan. Ada kalanya juga Masyarakat lah (hanya pada golongan tertentu) yang juga harus sadar diri. Misalnya, sekarang sudah ada kebijakan, yaitu jika mobil-mobil mewah (biasa dipakai Masyarakat kelas menengah keatas) yang berkapasitas diatas 1500 cc tidak boleh mengisi dengan BBM bersubsidi. Kebijakan ini membuat saya sedikit menerima, karena memang BBM bersubsidi itu dikhususkan untuk Masyarakat kelas menengah kebawah, dan alangkah tidak bijaknya jika Masyarakat kelas menengah keatas juga ingin memakai apa yang sudah menjadi hak untu golongan lain. Beberapa Masyarakat kelas menengah keatas tersebut membeli BBM bersubsidi dengan alasan harga yang lebih murah dibandingkan yang lain (pertamax, solar, dll), padahal dengan alasan seperti tentunya tidak akan membantu dan keputusan yang tidak bijak. Akhir kata, agar kebijakan kenaikan BBM yang sedang ditunda ini dapat menemukan titik terang dan tidak ada golongan Masyarakat maupun pihak Pemerintah yang dirugikan bila memang harus benar-benar naik (dengan melihat kondisi harga minyak dunia). 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar